Rabu, Disember 28, 2005

GURISAN INTAGLIO 5:HILDA

Kehadiran ketika itu bukan cuma para pelukis, tapi juga sebagian seniman sastra, drama dan lainnya. Beberapa orang seniman agung juga nampak bersama Pak Said, Bapak Taman Siswa. Tapi yang menarik perhatian adalah hadirnya seorang perempuan muda yang berwajah sangat matang dan berdandan sangat menawan.


Perempuan ini mengenakan gaun biru terbuat dari bahan semacam sutra yang sangat mahal dan sangat langka didapat saat itu. Bukan cuma warna kain itu yang kemuda-mudaan bercahaya, tapi model dari baju itu yang nampak sangat elegan.

Lebih dari itu semua, perempuan ini masih mengenakan topi lebar berwarna putih dengan tudung camarnya yang berenda. Carnal berenda ini tidak jatuh menutup wajahnya, tapi diselendangkannya ke samping menutupi daun- daun telinganya. Sebagian dari wajahnya yang putih bersih masih nampak, walau yang sebagian itu masih tertutup oleh sebuah kacamata penahan sinar matahari yang berbentuk lebar dan bening. Perempuan ini ditemani oleh seorang laki-laki Belanda yang nampaknya penggemar kesenian. Di samping itu masih didampingi oleh seorang laki-laki lain yang nampaknya seperti salah seorang daripada pamannya sediri. Lelaki setengah umur yang satu ini berwajah menarik dan posturnya semacam pejabat tinggi salah satu Departemen Republik.

Perempuan ini, didampingi oleh kedua laki-laki itu, antusias sekali dan teliti mengamati satu- satu lukisan yang terpampang di dinding. Sambil sesekali memperhatikan katalog pameran, dia terdengar berbincang-bincang. Aksen bicaranya kentara sekali sangat intelek, dan sesekali keluar juga dengan fasih bahasa Belandanya.

Dia kadang-kadang juga terdengar tertawa, dan tertawa itu aduhai... begitu renyah ceria, bening bahkan. Dan ada lagi satu hal, yakni kalau dia beranjak agak jauh dari satu tempat ke tempat lain, maka cara dia bergerak berjalan itu seolah melayang. Seolah sepatu hak tinggi yang dipakainya itu tidak sampai menyentuh lantai. Ringan sekali gerakan itu clan melambai.

Semua yang hadir, baik para pelukis atau tamu lainnya, seolah terpesona belaka memandangi penampilan perempuan ini, sarna sekali tidak pada lukisan yang dipamerkan. Perempuan itu send irian seolah mutlak sedang mengadakan pameran dirinya sendiri. Dan ketika perempuan itu kemudian kelihatan melangkah mall meninggalkan ruang, semua para pelukis seolah bergerak ke pintu mall menyaksikan terakhir kali penampilan clan wajah sang Madona itu.

Dan sang Madona, semacam tahu betul betapa dia dinantikan semua orang itu, sebelum sama sekali melangkah ke luar pintu, dia berhenti sebentar, tersenyum, membuka kacamatanya, dan memandangi semua yang menantinya di sana. Kemudian dengan sangat mempesonanya dia menunjuk beberapa tokoh yang dia kenaI dengan ujung jari yang memegangi kacamatanya:

"Selamat siang, Bapak mustinya Sudjojono. Saya suka sekali lukisan Bapak nomor 34, 'Ranjang Pengantin'. Lucu, tapi cukup mengharukan. Bung ini kalau saya tidak salah, pasti Bung Heng, Heng Ngantung. 'Tukang Becak' kepunyaan Bung, kerakyatan sekali. Mana, saya tidak lihat Bapak Affandi. Salam saya untuk Bapak itu. Sara salah seorang pengagumnya!"

Selagi semuanya terpukau tidak tahu bagaimana harus menjawab, perempuan itu mengenakan kembali kacamatanya. Sesudah itu kelihatan matanya mencari sekeliling. Dia nampak kecewa dan sebelum melangkah dia kembali berkata; agak parau:

"Saya juga tidak melihat kawan saya di sini. Salam saya juga untuknya kalau dia datang nanti, Bung Chairil."

Habis berkata itu, dia betul-betul melangkah ke luar diiringi oleh kedua laki-laki setengah baya tadi. Ketika ketiganya menghilang ke jalan di depan bersama dengan mobil Fordnya, barulah orang- orang di dekat pintu itu menyuara:

"Fantastis! Siapa dia bilang namanya tadi?" "Dia tidak sebut nama!" . "Dia tanya Chairil. Jangan-jangan itulah Ida yang sering disebut-sebutnya!" "Lihat saja di buku tamu!" "Ya, fa, buku tamu coba!"

Semuanya jadi membuka, memeriksa buku tamu. Di sana ada tiga nama, yang seorang berkebangsaan Belanda, clan seorang lagi perempuan bernama: Hilda. Tanpa alamat, tanpa jabatan. Cuma "Hilda-Jakarta". Orang-orang di meja penerima tamu de kat pintu itu jadi sarna bergumam membaca nama Ida. Justru pad a saat itu Chairil mas uk sambil menyeringai:

"Ha, bagaimana ini ada pameran besar sampai aku tidak tahu?!" Salah seorang pamong Taman Siswa clan pelukis jadi menyongsongnya:

" Aduh, Bung Chairil, Bung tidak lihat mobil Ford hitam barusan keluar?"

"Lihat. Kenapa?"


"Teman Bung, Ida, barusan keluar dari sini!" Yang lain menambahkan:

"Dia sempat kirim salam untuk kau!" Chairil jadi terdiam sejenak sambil mulutnya kelihatan bergerak menyebut nama itu. Tiba-tiba sekali dia jadi bertanya:

"Dia masih menutupi wajahnya dengan topi lebarnya dan melenggang..."

"Persis!" Terdengar salah seorang menyahut.

"Aku ke garasi dulu, cari Affandi."

Tanpa peduli pada orang-orang yang keheranan, Chairil cepat saja masuk ke dalam dan terus keluar ke belakang.

(petikan teks AKU-Sjuman Djaya)

***********************************

"Saat tangan lelaki menyentuh tangan perempuan mereka berdua telah menyentuh hati keabadian"-Kahlil Gibran-

Pagi tadi, Dahlia terserempak dengan Jauhari, orang yang mempertemukan dirinya dan Adisa. Sudah lama sekali mereka tidak diketemukan, dan kalau pun ada kesempatan bersua, mereka memilih menghindarinya.

Aku tidak ingin menyerahkan berita tentang bonda dan Adisa kepada siapa pun, juga Johari. Kerana aku rasa, sekali saja aku menyerah, mereka akan menghisap kesedihan itu dariku. Dan aku selalu dipertautkan dengan kisah kesedihan itu. Tetapi, tadi aku langsung tidak dapat menghindarinya. Johari yang merupakan dalang setiap kisah hidupku. Dia aku selalu bertemu di sebuah ruang makhamah. Aku, yang sepatutnya berbicara, merasakan kesesakan, tiba-tiba. Tanganku gemetar. Aku menjadi takut kerana dia pasti meminta sebahagian dari kesedihan dulu.

"Bertenang Dahlia, aku tidak ingin bertanya apa-apa mengenai kisah itu, aku sungguh menyesal membuat kau begini," katanya, sambil menepuk tanganku.

Aku lega sampai usai diskusi itu, kami tidak pernah kembali ke masa lalu. Hanya dua pertiga percakapan awal, adalah untuk bertanya khabarku. Selebihnya, mereka sama-sama cuba menghindari dari kisah permainan dulu. Aku masih ingat awal bertemu Jauhari, di awal kuliah di kolej, diwaktu maghrib yang aku tidak lupakan. Dua jam sebelumnya, aku melihat dia mabuk, muntah-muntah, dan tertidur di bilikku. Tetapi, ketika maghrib, dia bangun, dan bersiap untuk solat. Aneh dan pelik, sudah berkali-kali aku berkali-kali melihat dia mabuk, dan tertidur di situ. Namun, baru kali itulah aku tahu kalau dia juga menunaikan kewajipan. Diwaktu itu Bonda Ilse tiada didirumah, Jauhari bukan orang asing dirumah ini.Tetapi, waktu aku tanya, kenapa dia menunaikan solat dengan sisa mabuk, ia terdiam. lama, menjangkau rokok, dan berkali-kali menggoyang-goyangkan kepala, ia lalu berkata, yang masih kuingat sampai kini.

"Aku pun tidak tahu kenapa. rasanya macam automatik. kalau azan, seluruh tubuhku bergetar meminta solat. aneh memang. jika aku tidak solatt, aku merasa kehilangan sesuatu. tapi jika selesai solat, aku tak pernah merasa mendapatkan apa pun. Umpama apabila melakukan sesuatu urusan tuhan itu perlukah ditunjukkan kepada manusia lain bahawa aku dan kau juga menunaikan kewajipan kepada tuhan, seperti aku mabuk tetapi aku tetap ingin meminta petunjuk supaya memudahkan segala urusan didunia. Begitu juga denganmu Dahlia, sering menjadi bahan perbualan dibibir mereka disini. Akhirnya aku berjumpa kau disini."

Aku tidak dapat mencerna kalimat kata-katanyaitu, seperti terpaku dalam batang otakku. Dan sesudah percakapan itu, lama masih terngiang apa yang Jauhari ucapkan, apalagi kami kemudian menjadi rakan sepermainan, dengan jarak usia 3 tahun. Dan baru aku sedari, Jauhari hidup dalam dua pertentangan, dan menjalaninya dengan ringan.

Ketika dahulu Jauhari muncul di majlis sebuah keramaian itu. Dia mengintip Adisa dengan aku, ketika aku didakapan Adisa saat udara dingin. Aku terperasaan wajahnya seorang yang cemburu. Setelah aku berada didepannya kini, kalimat dia tadi menderaku lagi.

"Aku kehilangan kau Dahlia sebagai seorang sahabat dan aku mengkhianatimu kerana perebutan itu akhirnya aku dan Adisa tidak pernah mendapatkanmu".

Aku berdiam diri tidak menyatakan aku kembali bertemu dengan lelaki pengkhianat itu. Aku seperti mengejar ufuk. Refleksi ingatanku yang menjangkau Jauhari yang jauh dariku. Sebuah cerpen puisi tangisan dan sesalan, di sini adalah semua kuasa yang aku kerahkan untuk selalu berlayar bersamamu. Tetapi usai segaris tangisan, sebait sesalan, segugus puisi, seringkali saja aku gagal menjangkaumu, Adisa.

Kini Jauhari selalu berada di antara suasana ketika aku mengabadikan kenangan itu. Aku menggenang di suasana yang membuat aku melahirkan semua itu. Mengeletar tubuhku, adalah kesakitanku di saat berusaha melahirkan kenangan kita. Kecewaku setelah solat maghrib itu, adalah sakitku saat dirimu tidak lagi abadi di tangisanku. Akhirnya gerakku diantara kehilangan dan tidak pernah mendapatkanmu, mungkin bagi orang lain adalah sesuatu yang sia-sia, dan sementara. Ahhh..., mereka tidak pernah tahu, bahawa Adisa dan Dahlia dulu, pernah bahagia yang sementara.

Tetapi pagi kelmarin, pertemuan dengan Jauhari itu melahirkan imaginasi tentang Adisa, melihat kapas randu itu mengintip dari buahnya, lalu dipukul angin dan terbang, Dia teringatkan pada Adisa, yang dipukul takdir, terbang ke suatu tempat, menjalani kehidupan yang lain.

Tetapi, ah sudahlah, bukankah semua orang akan begitu,? tetapi aku menjadi yang harus mengurus takdirku sendiri dulu. Seperti selalu senja tidak letih mengirim hujan.

Di ruang ini, dingin angin yang menerobos singkap taman, takbir langsir yang terbuka. Di meja yang penuh buku itu dengan monitor komputer yang mati. Tidak bergerak, hanya cicak yang merayap disudut kanan pintu, merangkak perlahan. Hanya denting bunyi denting tiktok jarum jam.

Susuk tubuh yang meletakkan kaki di tubir meja itu, tidak bergerak. Hanya sepasang mata yang terkatup dan terbuka mengirim tanda, dia tidak dapat melelapkan mata. Hidung tersumbat dan dengan hujung jari kaki, dia tekan tombol monitor, menyala. Dia menyebut nama Jauhari itu. Kerana Jauhari yang menjadi sebutan orang ketiga tunggal antara dia dan Adisa, dan seorang pengkhianat. Pelabur

Tiba-tiba sahaja di sebuah senja basah gerimis terawang diingatan. Keinginan untuk tahu tiba-tiba terpancing. Aku menggodanya. Dia datang kepadaku lalu kami berhubung. Akhirnya kutahu lelaki yang kujejak pengirim bunganya dahulu adalah Jauhari. sedikit sejarah hidup terkoyak, melalui cerita yang dikeluarkan dikomputerku. kami menyambung, dan setiap kali kulihat diriku menikmati percakapan diam itu. Ada yang bergerak setiap kali membaca tulisannya.

Kami terhubung selalu dalam gerimis, senja violet, sepi yang menekankan, belitan masa-lalu, petikan-petikan kisah dalam novel, rencana besar untuk aku menjadi seorang pengarang, uniknya, tanpa melibatkan rasa, percakapan yang intensif, dalam tetapi mendatar. Hal-hal yang peribadiku langsung tidak terusik, ditinggalkan. Aku menghubungi Johari lagi dan suara sumbang di seberang sana, membuatku terbang, terhubung pada semua kenanganku pada seseorang dan alunan muzik tentang seseorang oleh ADA itu berkelana hatiku.

Saat ini, Jauhari yang sering ada di depanku, walaupun berulangkali mengingatkan jarak telah dibentangkan. Jauhari bukan penglipur dan pendengar yang baik. Dia cuma lancar bila berkata-kata dan tidak terpatah-patah. Selalu ada yang dia ingin diperdebatkan, hal-hal yang kecil, sedikit debat, dan akhirnya ditutup olehku. Tiada yang menarik tetapi nampaknya, Jauhari lebih berghairah sendiri, sementara aku sibuk, kadangkala terseksa di sini dengan keriuhan menguruskan urusan bersama golongan para ahli perniagaan yang membelit karyawan. Dan satu lagi, dia ternyata amat kesal dengan perbuatannya dulu. Dan bila kutanya, dengan pantas dia mengaku,

"Aku gugup denganmu Dahlia, aku tidak tahu kenapa?"

Aku tertawa, dia semakin gugup, tangannya mengetuk-ngetuk meja, atau batuknya yang tiba-tiba datang, membuat kedengaran garau suaranya. Dan biasanya, jadi begitu, aku tidak akan memaksanya menjelaskan lebih mendalam dan aku memilih untuk diam, dan menikmati dan mendengar ceritanya yang seperti air yang bah. Kadangkala membosankan juga, memang.

"Kembalikan Warisan Nusa kepadaku Jauhari", kataku pantas.

"Syarat kau sanggup patuhi Dahlia, bonda Ilse telah meninggalkan pesanan untukmu," Jauhari menyindirku. Menoleh mengangkat keningnya yang tebal.

"Aku ini bukan mudah memberi Dahlia, aku perlu membersihkan darah keturunanku yang aib tetapi disanjung, seharusnya kau begitu Dahlia, ada kaitan kisah kita dikehidupan dulu yang mencampakkan kita di dunia kali ini." Jauhari membisikkan kata-kata itu.

Dahlia seperti hilang pilihan dan arah tujuan. Apa yang dimaksudkan oleh Jauhari. Wajah Dahlia berubah kemuraman.

"Kita perlu bincangkan hal ini kemudian Jauhari. Hubungan kau denganku jika keadaan yang menentukan, aku juga akur, tetapi perkara ini biarkan sampai tidak mencemarkan nama bonda Ilse" memandang keanak mata Jauhari yang bening. Melunaskan kata-kata yang disela Jauhari.

Pertanyaan-pertanyaan itu muncul kepadaku di sudut sebuah café shop dibawah bangunan pejabatku. Di petang kesenjaan yang mengirim hujan menjemput aku pulang.

"Bila kau mula jatuh cinta, Dahlia?" aku agak kaget, lalu tersenyum.

Lalu aku menjawab "Soalan apa ini? Ada masuk paper kes kita?

Kenapa? Kau sedang jatuh cinta?" Aku bertanya, dan merah pipinya dan memalingkan muka dan kembali fokus matanya kearah jalan utama.

"Kalau tidak salah, waktu sekolah tadika, ha..haha..cinta? Cinta adalah alat sebuah caturan dan aku rasa tidak pernah sekali, ah!, aku tahu, cinta tidak penting betulkan, hahha..." Ada sedikit gelak dalam duka. Jauhari tetap memandangku tanpa berkelip. Aku berbohong saat ini.

"Kenapa?"

Dia menoleh. "Tidak penting padamu Lia.” Jauhari mengambilnya sepotong roti bakar, mengunyah.

Lalu aku bersuara dan merenungnya

"Terlalu banyak yang aku korbankan jika sedang jatuh cinta. Termasuk menjadi mangsa sebuah permainan. Dan aku menjadi korban itu. Lalu jadi begini" kataku jelas.

Dia terhenti menguyah matanya tepat dan dalam memandang kedalam anak mata hitamku. Ada sembilu yang menusuk setiap penjuru. Dia memandang kebawah.

"Yer ker begitu, maafkan aku!" tanya Johari.

Aku menoleh memandangnya. Dia tertunduk malu.

"Mungkin kerana kau tidak pernah merasainya dan menikmatinya."

Cukup indah meyakinkan seseorang
Bahawa dunia ini masih tersisa cinta
Lebih banyak dari yang kita tahu
Aku sendiri tidak pernah yakin menemukan cinta lagi

"Sebab itulah semasa menikmatinya, aku tahu betapa besarnya pengorbanan yang tanpa disedari dan sengaja telah aku lakukan."

Lalu Jauhari berteori tentang pendapat seorang ahli falsafah Wina Ludwig Wittgenstein bahawa semua penggunaan bahasa cinta, erti daripada kata dan kalimat bergantung pada pemakaiannya. Kata yang sama tidak sama ertinya apabila dipakai dalam keadaan yang lain serta diucapkan oleh orang lain. Kata dan kalimah cinta orang kaya tentang hartanya berbeza dengan cinta seorang ibu pada anaknya. Kata cinta seorang kekasih memang ada yang murni dan ketulusan. Cinta yang tulus mungkin terwujud dalam perhatian yang besar, kerinduan, kesetiaan, dan takut kehilangan. Dan Jauhari memaksa aku mengaminkan semua itu sebagai cinta. Aku terpana, mengangkat bahu. Aku tidak pernah merasai itu semua. Adisa itu bukan cinta tetapi hanya kehausan kasih saying isterinya sarah.

"Lia ingat perjanjian kita, aku datang minggu depan di Warisan Nusa"

Jauhari bangun dan berlalu disaat aku masih termanggu disitu. Mengenyitkan mata sambil berlalu menghirup dan menikmati Latte dan Cheesecake yang tersisa. Aku memandangnya yang melintasi pertengahan lalulintas jalan Bukit Bintang.

Seberang meja ada seseorang yang memandangku. Siapa?


Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati

Aku masih tetap sendiri

Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi

Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani

Kalau kau mau kuterima kau kembali
Untukku sendiri tapi

Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.-Chairil Anwar-

Tiada ulasan: