Selasa, Julai 04, 2006

INTERMEZZO CINTA



Kepulangan Quo Vadis


Perlabuhan mungkin menjadi kerinduan.
bau wangi rumput liar,
pada derap-derapan langkah kuda,
pada tawar menawar di pasar,
tidur siang dengan pohon ek tua

Saat ini,
Aku adalah petani yang teringatkan ladang.
Aku adalah pemandu kereta yang terkenangkan jalan
Aku adalah penambang yang melamunkan intan berlian.
Aku adalah pendaki gunung yang terjebak di perahu nelayan.
Bahkan,
Aku juga mengenal kata pulang.
sang pengendara ombak lautan.

O, gemuruh ombak lautan.
Menaklukkanku jadi ambisi
Seperti Casanova menancapkan pesona
kau jerat aku dalam ekstase
jiwaku yang muda.
Hawa yang rasa lembab, memerangkap
di atas kering dan getir daratan.
Bagai mimpi menduakan kenyataan.

Tanjung Harapan, Segitiga Bermuda,
juga tempat-tempat legenda.
Ditawarkan oleh mereka nama haruman
Prestasi yang diratapi para pemberani.

O, camar-camar, berteriak di semilir angin geladak.
Mengirim khabar
tentang dermaga yang berkeretak di goyang ombak.
Mengangkat di benak secercah kehangatan kampung halaman.

Dan sekali lagi,
berlabuh menjadi sebuah kerinduan.
Kerinduan
yang berulang kali datang dan menjadi hakiki.
Dan diriku menjadi seorang Quo Vadis Cintaku?

Catatan Intermezzo: Di hujung masa, sebuah rindu tersimbah percik-percik darah yang mengalir dari mata hati yang lama kering. Langkah bergegas meninggalkan bayangan, semilir udara dingin terus memeluk tiada jera. Dakapanku semakin rapat, nafas termengah membaui malam. Aku menggosok-gosokkan kedua tapak tangan mencari hangat. Sia-sia, dingin menjadi raja. Kehidupan menjadi pengembara, di perjalanan bumi yang mati sesaat. Hanya bintang yang hidup dengan kerlap-kerlipnya, jauh di atas sana tiada hentinya, semalam atau esok waktu tak lagi bermasa.

Kerinduanku pada suasana inilah yang terkadang membuat hambar segala gemerlap warna kota yang menawarkan tawa-tawa yang semu. Bibir-bibir merah dan pesona wajah tak mampu lukiskan keramahannya, di baliknya gurat-gurat kemunafikan masih membayang. Ada frasa malam tentang persahabatan. Selebihnya kalaupun masih ada kejujuran itu adalah keajaiban. Tapi waktu begitu mengunci rapat oleh rutin tugas. Wang adalah menjadi pecutan hidup, dan jiwa-jiwa dinilai sebagai angka. Begitu terlatihnya manusia-manusia mengais lubang-lubang tempat bangkai wang yang terpendam. Sehingga terkadang untuk sebuah lubang, akan ada sebuah kematian. Wang adalah milik sang pemenang dan lubang kubur bagi yang dikalahkan. Untuk semua kenyataan yang aku hadapi itu, aku rasa sudah saatnya aku hadir bersama mereka di sini, tidak lain hanya untuk mengetahui bahawa masih ada kehidupan yang mungkin purba bagi mereka disana.

Tiada ulasan: