Isnin, September 26, 2005

PARADISE

Di senja labuh layar dada redup merapat teduhnya. Dua lelah di satu perairan, aku meringkuk dibalut sarang bawah paradise rambulan. Bertolak dari iringan dan perayaan musim ke sembilan belas siklus gelap terang. Aku celotehkan kata keluhan, getir juga serpihan tawa dalam baringan pejam mata. Memandangi langit di balik kelopak mata yang sepi tanpa sepenggal awan. Satu bintang di langit itu sudah sehari semalam berjalan. sekonyong labuh dalam esakan yang menyentak apungan benak malam. Terhenti huraian celoteh bibirku, bersilih riuh rendah ngomelan di dadaku. Ada bintang yang menangis di langitku. Dipalingkannya wajah menyembunyikan dari jagaku. Bintang sebutir yang berkelip tajam lalu tergolek sunyi. Sedu samar tirai debu di nyala lampu. Seluruhku lumpuh oleh detak gugat yang tidak tahu menyambut lubang retak lelehan bintang. Hanya setitis jemariku mengapai usap punggungnya yang masih tersedu rindu.

Derai kosong itu mematah lagi, nyaring hingga pekak membisu. Mungkin serapuh lelehan getah jengah atau sepi? menoda di kerah, meresap ke tengkuk hingga serabut denyut. Menuai bunyi nafas, terkohok titis gementing gelisah yang bercucuran dari atap-atapku ketika beranjak jadi gepita malam. Sungai hampa gaung di ruang tengah hari. Seperti dicerap samar kebosanan dan sungai dengarmu seolah terhenti mengalir dan menyeret surut padam aku kepada sehalus kedukaan. Namun biarlah, rindu lebih mahal dari cekal luka. Gelodak yang menitis di dalam dada beranak pinak, bermacam rupa, bernama sama dan bernada rasa. Bersalin daripada bayangan kolam yang menyala dipercik hadir dan menyeroti ketika aku tersipu-sipu menyelaras langkahmu menyisip di halaman-halaman waktu, terbentuk sesekali di ruang itu. Terjaga ditengah mengejar bayangan yang berlalu dari langkah orang asing di keramaian yang kusangka dirimu. Menyusuri buih yang tersisih dari perairan pasang mu laut dan meniti setapak rimba demi rimba sembunyi guaku. Ketika kedap hening mengurung ruang antara debarku buatmu dan dicemaskan kerana tersesat kita di jejak yang dihapus, diluruh lekang, dan melayari hari-hari yang bertakhta masa yang terlalu angkuh. Gegap esakan yang terjaga bukan penunggu ditengah malam yang tidak kunjung lengkap. Menggelisahkan rundung requiem di kejauhan yang merapat jelang, karam, lenyap, tetapi tidak pernah jengah setia yang menitis indah.

Kelmarin aku terpercik bara yang perih itu, hasrat-hasrat bertaburan, kehendak berkelindan, namun titisan itu yang selalu jadi pembelamu dari gugatku, dan sekali lagi kau terbebas menuang sinar kejauhan hujan di atap gentingku yang telah membeku seperti batuan alam yang mencuri celah rembesan titian cahaya yang kejauhan sehari sebelum purnama, sebelum tengah malam atau bintang yang padam. Titisan yang terjatuh menjelma kristal legam dan dingin, sedia berjaga berabad malam.

Tiada ulasan: