Isnin, September 26, 2005

SEBUAH LIRIKAN

Pernah suatu hari lelaki itu menatapku dari kaca matanya dan bibirnya berkata "merenung tabir seorang perempuan dihadapanku, atas binar di retina matamu. Benarkah syahdu itu dapat menghancurkan mendung kelam yang bergantung di parasmu? dirimu terlalu cantik untuk dilupakan. Kebaikan hati, pengorbanan dan sikap tegasmu adalah isyarat bagi saya untuk bersikap bijaksana, tanpa benci dan dendam murka. Saya terlalu rapuh untuk menghadapi getir rasa yang kini menghampiri. Tiada alasan untuk menjadikanmu musuh, kerana dirimu perempuan terlalu indah untuk dikenang."

------------------------------------------
Di renung malam, kutemui sisa rasa yang tidak kunjung kering. Di sudut kamar, bersama derit pintu bertaburan kata-kata yang tidak sempat kujalin untukmu. Nanti, saat musim hujan pun tiba, kita sudah menjadi lalu. Kau dengannya mesra di lisan doa yang kubisikan.
Semoga kau bahagia.

------------------------------------------
Nisan itu tertancap diantara bongkah batu hitam. Angin tersandung digunung tanah yang basah. Diantara hening dan jejak air mataku terdengar suara "aku pergi dahulu"

-------------------------------------------

Aku ingin berhenti menuliskan kata menjadi kalimat, lalu kau tersenyum membacanya. Kerana tiada dirimu, inspirasi terindah yang pernah menggetarkan jari-jemariku untuk memintal kata menjadikannya kalimat cinta. Musim ini musim kita. Gugur daun bertiup angin isyarat kita. Kata-kataku sudah terasa mati untuk kau eja. Titipkan kata itu jika masih ada ruang di belahan hatimu.

---------------------------------------------

Sebuah janji kecil di simpang jalan menurun selatan kota kau pernah lontarkan di bibirmu "Aku berikan panggilan nama untukmu" aku tersnyum di tikungan waktu. Mengangguk kecil. Nanti, namamu kunamai "Aurelia Aurora Tiara" yang bererti puteri cantik bermahkota tiga, secantik sinar terang bintang di utara. Bibirku tiba-tiba menguntum senyum sejuta warna angkasa.

----------------------------------------------
Kau berkata lagi, jika ada sedikit waktu, tersenyumlah. seperti aku. Disela tiktok waktu di bundar jam dinding bercat krim kuhamburkan senyum dan tawa, dikenang masa, kaulah pelipur lara terbaik yang aku pernah ada.

-----------------------------------------------
Mengetik. Mengetik apa saja. Sudah lama sekali rasanya tidak mengetikkan kalimat-kalimat kosong ataupun setengah kosong atau setengah isi. Mengetik. Mengetik saja. Apa yang terlintas. Tiada yang terlintas. Hanya ingin mengetik. Menumpahkan ayat kekosongan. Hingga kembali terisi tulisan. Tulis sahaja. Penuhi halaman putih ini dengan huruf-huruf gondolan. Menjelma bunyi. Entah ritma entah mantera, semoga lebih makna.

--------------------------------------
Sepeninggalan rindu, aku menetap bersamamu: mengosongkan peluru. tabir pernah terbuka di depan mata kita, tapi kita tak pernah tahu. segalanya seperti kegelapan yang sempurna dan utuh. Berulang kali kita bilang, kesunyian adalah teman. Di antara lekuk wajahmu yang kuraba selagi kau tertidur itulah tempat kesunyian berada. lekuk-lekuk itu bukan milikku dan tidak pernah aku miliki. Asal kau mengerti.

--------------------------------------
Mungkin telingaku sudah tidak lagi mendengar bunyi. Bahkan tiktok jarum jam tidak ingin menggiring waktu menjemput malam dan pagi. hanya asap berterbangan, menjingkati wajahku. kelopak matamu terkatup tidak terganggu, menyisakan sejemput damai yang tidak pernah kuimpikan. Dunia sudah terlalu bising, seperti tanganku yang tidak henti berbicara kepada dawai-dawai gitar. ingin kubisikkan di telingamu: waktu sudah berhenti. Tapi kau harus kembali, membawa segala kepalsuanmu dan meninggalkanku di sini bersama benih mati matahari.

Tiada ulasan: