Sabtu, September 24, 2005

SIMBIOSIS LABAH-LABAH

Aku tak pernah menghitung sejak berapa lama lelangitku telah bersawang dan labah-labah kecil berlarian, sibuk menyeberang, naik turun asyik bermain, bergelayut pada konstruksi sarangnya masing masing. Mereka arkitek-arkitek kecil yang membangun sendiri tanpa rancangan di atas kertas, bekerja di ketinggian tanpa tali pengalaman selain seutas benang liur tipis seperti pemain pemain sirkus pada tali temali trapeze. Hampir padat setiap jendela dan sudut pintuku, almari dan kamarku kubiarkan menjadi kamar labah-labah kecil. Bukan semata kerana ruangku begitu kotor dan tidak terurus hingga semua labah-labah itu berada senang tinggal disitu. Namun aku lupa sejak aku sengaja membiarkan mereka membangun hidupnya dengan berbagai sarang denganku menjadi sahabat sekamarku, dan teman tidurku. Kamar ini pun sarang kecilku. Ruang jagatku berputar disini sebelum aku teguh beranjak ke luar pintu.

Mereka tidak pernah menghuru-harakan, bergerak secara diam dan tidak berbau atau mengotori seperti lipas, kutu busuk atau mengusik seperti nyamuk. Satu-satunya yang mengusik ruang ini hanyalah aku. Namun untunglah mereka tidak pernah nampak terganggu, atau mungkin aku tidak tahu. Mereka labah-labah, tenang dan tidak pernah mengusik, tidak pernah membawa gatal atau menyengatku. Aku telah lama menerima hidup mereka seperti mereka pun sepertinya menerima kehadiranku dalam hidup mereka.

Aku cuba mengamati dan mengingatkan mengapa aku mulai mengajak mereka hidup bersama. Mungkin kerana aku selalu terkesima akan benang jala dari liur-liur labah-labah yang begitu indah ketika baru saja selesai bertenun. Tidak hanya putih namun juga berkilau samar ketika hancurpun mereka tidak pernah jatuh terhempas namun saling lekat walau kusut masai tidak lagi terbentang. Seiring waktu debu-debu akan terjerat diantaranya bersama sisa serangga-serangga mangsa dan benang benang bening rapuh itu menjadi kusam dan rosak oleh tebalnya dedebuan yang seperti lapisan kelabu melahap untai renda benang.

Labah-labah itu pun tahu akan kekusaman kerana mereka meninggalkan sarang itu dan menenun hamparan bening baru dari liur-liur yang tidak pernah habis. Dulu terkadang aku yang sengaja merosakkan sarang sarang kusam.

Di waktu malam ketika lampu neon telah padam. Setengah cahaya jalanan dan setitis cahaya bulan menjadikan sarang-sarang itu indah seperti konstelasi langit, dan sudut-sudut yang begitu tebal nampak seperti kabut. Yang kukhayalkan seperi kabut percikan nebula tanpa warna. Sementara tubuh-tubuh mahluk itu berbayang seperti perahu-perahu yang melayari ruang angkasa dalam dongeng ilmiah yang kulihat di cermin kaca. Seperti fakta dalam khayalku sendiri. Tidak pernah jemu bergerak menjadi untai benang-benang khayal kisah menenun selimutku sebelum lelap malam.

Aku tidak pernah memberi mereka nama, kerana mereka bukan sekadar haiwan peliharaan rumahku. Mereka merdeka miliki hidupnya sendiri, memilih sudut-sudutnya tanpa pernah kupelihara, barangkali mereka pun ada nama, bahkan ada jiwa, Mungkin hanya jiwa mereka tidak mungkin kufahami kerana aku tidak sanggup menjangkaunya dengan kesedaranku. Aku tidak pernah tahu cara bertanya, menyapa, membahasa pada mereka. Mungkin memang tidak perlukan semua itu. Aku hanya biarkan mereka disitu, kerana aku menginginkan mereka bersamaku.

Dalam simbiosis ini saling menjaga daripada sepi dan beku. Barangkali mereka sama sekali tidak mengenal sepi, barangkali mereka tahu tentang rindu. Entahlah, mungkinkah aku menderita semacam penyakit personifikasi kompleks. Namun aku menikmati segala andaian-andaian dalam benak yang memanusiakan sahabat-sahabat kecilku yang selalu saja sibuk menenun di awangan kamarku.

Mereka merayap direnda benang tipis itu terkadang berayun dan bergantungan naik turun berjalan diudara seperti pengakrobat tanpa benang. Di sudut tertentu dalam cahaya atau dalam gelap benang-benang itu tidak kelihatan. Itulah saat dimana aku paling menyukai pemandangan akan mereka. Mereka berjalan, memanjat menurun pada jalur-jalur yang tidak kelihatan seakan berenang diudara, berjalan, duduk diam bahkan berbaring ringan tanpa beban. Membuatku ku merasa kamarku adalah ruang waktu yang berbeza, sebuah kamar dunia lain yang bebas dari hukum graviti dan lepas dari ruang dan waktu di balik pintuku.
.
Di istana imaginasi itu bertemu dengan perhentian dari deruan harian. Persembunyian yang mengubati hati, dari sakit dan lelah yang kudapati seharian dari perjalanan di langit luar. Di balik pintu ini aku dan labah-labah menenun waktu setiap hari . Mereka menenun sarang-sarang benang rapuh yang semakin cantik dari detik ke detik . Aku menenun pendamaian dengan diri yang abadi. Menghancurkan jaring-jaring usang yang kusam dilekati debu dan kotoran dan sisa lekat mangsaan. Dengan liurku menjalin dialog-dialog sendiri, perlahan-lahan aku tahu, labah-labah itu tidak mengurus sendiri sahaja, mereka telah berdialog dengan jiwaku, menjangkauku tatkala aku hanya mengangkat bahu dan menganggap jiwa laba-laba hanyalah delusi orang sepi.

Setiap utas benang dan ayun tenun diantara delapan kaki berbulu tanpa suara itu, secara damai mengubati parut luka atau resah atau nyala amarah yang kubawa dari luar pintu ke dalam sarang kami. Aku yang membawa kotor ke dalam dinding-dinding hidup yang ada dalamnya. Mereka menenun dan kadangkal hanya dengan merenda sarang-sarang jernih baru, kadangkala hanya dengan berjalan-jalan tenang di lelangit dipundakku. Kakadang hanya aku membiarkan mata memandang susuk gerak geriknya, diantara lampu, cermin dan bayang-bayang dan longgokan barangan. Selalu setia mengajariku menenun setiap hari. Mengajari indahnya kerapuhan dan kedamai dengan kelekaan dari setiap sarang kusam yang kuhancurkan dan akan tertenun lagi sarang-sarang benang baru yang tidak lagi sama seperti dulu.

Tiada ulasan: