Khamis, November 10, 2005

SEL MERAH

Gerimis telah membunuh diri, terburai di gelimpangan. Tapak-tapak basah menari saling menyapa, sementara tubuh terpotong-potong pada cermin yang terkapar. Sesekali, jejak-jejak roda hitam membelah, membagi kenangan ke kanan dan kiri. Umpatan dan kata nista sudah lali memandang sini pada tawa di ruang hangat yang melintas.

Ah… andai saja aku ada di situ, tidak perlu aku susah payah merawat terapi akupuntur ini. Jarum-jarumnya menusuk di kepala, selimut dingin melekat ditubuh. Sepekat mendung bergayut menuju malam. Payung-payung bagaikan menyambut musim hujan. Katak-katak tidak lagi dinobatkan sebagai simbol, hujan, payung dan banjir. Atau tubuh-tubuh menggigil di hujung kali, mengumpat pada tuhan sebagai rahmat yang kunjung salah alamat. Sudah aku katakana disitu neraka, setelah pulau itu menjadi syurga terjajah.

Badanku terhuyung-hayang, menjadi aneh bagi mereka yang memeluk rapat pada tangkai-tangkai payung. Bau keringat menjadi tawar, lelah kedinginan disiang tadi. Aku harus mencari tempat berteduh, tapi tiada yang menawarkan. Semua telah terbeli, hotel menjadi makanan pedagang, pohon-pohon tampak ramping tanpa dahan rimbun yang bercabang.

Sungguh kejam engkau, ucap bibirku. Tidak ada sedetik tersisa, tangan kanan menerjang bibirku, tamparan yang melahirkan nada mendesing di telinga. Tangan kanan muak oleh umpatan bibir.Ternyata engkau lebih Tuhan dari Tuhan itu sendiri tangan, maki bibirku. Kali ini bukan lagi tamparan, tinju melayang tanpa ragu. Bibir pecah, darah cair menitis bersama beriringan hujan yang meninggalkan kuasa di setiap detik. Batin di dada berdetak kencang. Ini bukan pengingkaran diri, jelas aku lahir di zaman yang salah. Mengais demi hidup dan janji ke syurga. Sungguh mahalkah syurga yang ditawarkan oleh Tuhan?

Tubuhku terhuyung-hayang kebelakang, saat amukan menjadi laknat. Tangan kiri geram batin yang bernyala-nyala. Niat tangan untuk bertindak lebih anarkis terhalang oleh rusuk-rusuk di dada. Andai ada belati, mungkin hati akan terlempar ke luar dan pasti akan menjadi santapan anjing-anjing. Sungguh murahkah harganya?

Otakku menggeleng bingung. Mencari akal tahu yang nahu pada serpihan niat mereka. Tapi mereka bisu, hanya denyutan mengalir cepat padanya. Ada sekelompok kata-kata yang berkubangan dalam darah, mengalir di arteri dan aorta. Menyinggahi semua sel-sel terjalin dengan komunikasi yang berlangsung dalam bentuk yang bergelembung yang sukar aku tafsirkan. Selebihnya mengikat panji pada simpul-simpul merah. Oh… kulihat apa yang terjadi?

Otakku kembali menangkap isyarat. Di negeri jutaan sel dalam tubuhku, ada sekelompok sel merah menunjukkan samseng. Mereka penat oleh kedunguan jiwa yang terperangkap oleh teori-teori misteri. Di saat seluruh pancaindera sunyi dan tidak berfungsi membacanya. Mata melihat ada perubahan, penindasan menjadi lukisan yang terkabar di seluruh sel-sel. Telinga menangkap suaraNya, akan doa-doa yang berkumandang dimulut. Tempik jeritan kerakusan dan kesakitan menjadi santapan. Dan mulut muak menjadi alat bagi otak dan fikiran, meminta belas kepadaNya yang tidak datang bersama kiamat. Tapi mulut sudah tidak berdaya dipasung oleh kesabaran nurani, hanya bau bentuk simbol perlawanan yang menjadi hamisan kepada tua yang buta. Mungkinkah mereka tidak punya telinga?

Jangan ditanya akan keadaan lidah. Ia tidak seperti dulu, merasakan berbagai rasa. Saat ini hanya getir yang terkecap. Bilakah ada hal yang manis, mungkin lidah akan terbunuh atau menyerahkan diri untuk terbelah dua pada gigi-gigi yang semakin kuning. Ia adalah organ tidak berguna, hanya menjadi budak pembentuk kata-kata sabar yang bergumam di rongga mulut.

Sementara hidung tidak berbangga diri. Sejak kejadiannya, sudah tercetak menjadi perosak keindahan wajah. Semua orang mengatakan bentuknya yang hodoh dan jelek, pesek. Hidung menjadi buruk yang disingkirkan. Menyembunyikannya pasti sukar dilakukan. Terpasung menjadi simbol yang memalukan. Oleh keterasingan organ, ia menjadi budak yang setia. Nafas-nafas melaluinya tanpa henti, menjajah setiap sudut miliknya. Kebebasannya hanyalah fungsi belaka, menghirup bau-bauan. Tapi sungguh malang, tubuh telah terlahir di bahagian termiskin dalam perkumuhan. Tiada aroma wangi yang menjanjikan, hanya hama sampah pinggiran milik manusia hina. Hidung merosak wajah, saat hingusan bermain-main di kedua lorongnya. Seperti kebodohan lakunya budak yang pasrah.

Nuraniku meracau-racau kian gacau, jiwaku pecah berputar pada setiap pertanyaan. Akan berkekalankah jati diri, penciptaan dan yang tercipta. Mana alur bermula dan berakhir. Mana kebenaran dan pembenaran. Semua berkubang pada kepenatan dan kepedihan. Pelahan-pelahan kata sabar menguap di kedinginan. Saat hujan bukan lagi rintik-rintik yang berirama. Bukan lagi jarum-jarum yang diselarikan kenihilan pada setiap sel-sel tubuh. Kini menjadi pemberontakan yang menguasai isi tubuhku. Lambat laun akan memenuhi rongga mulut dan hidung, menguasai keseluruhan genap tubuh. Ketika beberapa saat yang lalu, tubuh memberontak pada jiwa. Menenggelamkan diri pada arus kemurkaan yang meluap menuju kota. Di sebuah kali ketika gerimis menganasi dan telah terburai menjadi kenang-kenangan. Jiwa tergenang di kubangan air. Bukan untuk dikenang atau dikekang. Adakahkah sebuah revolusi manusia bererti membunuh diri?

Tiada ulasan: