Jumaat, Disember 09, 2005

Perisai Sebuah Permata

Fikiranku menangkap bayangan jasad seseorang.Sebuah senyuman tersimpul dibibirnya. Senyuman yang mengutarakan kebahagiaan yang sedang menyelimuti dirinya. Sebuah hasil telah dicapainya. Itulah kali pertama aku bertemu dengannya.

Kumembuka inbox dalam email, dan salah satu email yang ditulis oleh sahabatku yang satu. Aku membaca beberapa kali kisah yang tertulis di dalamnya. Beberapa pertanyaan beruntun dalam email tersebut.

Kenapa dalam hidup ini selalu ada luka? Sampai bila setiap manusia itu mampu bertahan?

Kenapa manusia itu selalu inginkan diberi perhatian, didengari, dicintai, soalannya permualaanya ialah di......., tetapi mereka sendiri tidak memberi semua itu kepada orang lain, mendengarkan orang lain, mencintai orang lain?

Beberapa pertanyaan tertulis di email tersebut.....

Aku mengatakan hasratku untuk hidup sendiri di hutan, hidup tenang bersama haiwan-haiwan dan tumbuhan. Di mana tiada rasa, tiada yang berdosa, tiada kemarahan, tiada yang bakal terluka perasaan, yang ada hanya cinta dan kedekatan dengan Tuhan.

Seperti pertanyaan-pertanyaan itu belum mampu aku jawap, dan segala keinginannya belum dapat kucari jalan keluar. Mungkin aku perlu untuk kembali membaca kisah atau tamsil dari masa lalu untuk bertemu sebuah jawapan dari semua pertanyaan dan segala keinginan itu. Allah menciptakan segala sesuatu di dunia ini berpasang-pasangan. Siang dengan malam, lelaki dengan perempuan, hidup dengan mati, termasuk suka dengan duka, tawa dengan tangis, dan sebagainya.

Jadi jika kau bertanya, "Kenapa dalam hidup ini selalu ada luka?"

Maka jawapannya adalah kerana dalam hidup ini juga selalu ada suka, gembira, dan senang. Bukankan itu semua pasangan dari luka, sedih, susah?

Bagaimana manusia mampu bertahan? Manusia akan bertahan apabila memiliki ilmu dan iman. Bagi orang-orang beriman, apa pun yang menimpa dirinya nescaya akan berbuah kebaikan. Bila dia ditimpa dengan kesenangan dan kebahagiaan, maka ia bersyukur. Hal itu yang terbaik baginya. Bila dia ditimpa dengan kesedihan dan kesusahan, maka ia bersabar. Itu juga lebih baik untuknya.

Seperti sebuah perumpamaan yang indah, segenggam garam, air di dalam gelas. Pahitnya kehidupan, adalah seperti segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan memang akan tetap sama. Tapi, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat bergantung kepada wadah yang dimiliki. Hati, adalah wadah itu. Perasaan adalah tempat itu. Kalbu adalah tempat segalanya. Jadi, jangan jadikan hati itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu beredam setiap kepahitan dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan.

Bila aku dan dia bertanya, "Kenapa orang tuh selalu ingin diberi perhatiaan, didengeri, dicintai, soalan permulaannya di......., tapi mereka tidak memberi perhatiaan kepada orang lain, mendengari orang lain, mencintai orang lain?"

Di sebalik semua itu, aku mungkin menyedari bahawa tidak menuntut orang lain untuk melakukan segala apa yang kita inginkan. Tidaklah mungkin untuk memaksa orang lain untuk selalu memperhatikan dan mendengarkan kita setiap waktu. Tetapi yang pasti, aku telah tanamkan satu hasrat untuk yang diperintahkan Tuhan untuk selalu bersifat aktif untuk selalu 'me-', dan bukan bersifat pasif untuk selalu 'di'. Aku diajarkan untuk menyayangi apa-apa yang ada di bumi agar yang di langit menyayangi aku. Aku juga diajarkan untuk memberi bukan diberi, mencari bukan menunggu, dan sebagainya. Jadi aku harus memperhatikan, mendengarkan, mencintai orang lain agar supaya Allah membuat mereka memperhatikan, mendengarkan dan mencinta aku juga. Ya Rahim.

Bila aku berhasrat untuk hidup sendiri dihutan, hidup tenang bersama haiwan-haiwan dan tumbuh-tumbuhan, kerana aku yakin bahawa disitulah ada ketenangan dan kebahagiaan, maka aku telah membaca kisah ini.

Seorang Raja mengadakan sayembara dan akan memberi hadiah yang melimpah kepada sesiapa sahaja yang boleh melukis tentang kedamaian. Ada banyak seniman dan pelukis berusaha keras untuk memenangi pertandingan tersebut. Sang Raja melihat-lihat hasil karya mereka. Hanya ada dua buah lukisan yang benar-benar paling disukainya. Tapi, sang Raja harus memilih satu diantara keduanya.

Lukisan pertama menggambarkan sebuah telaga yang tenang. Permukaan telaga itu bagaikan cermin sempurna yang memantulkan kedamaian gunung-gunung yang menjulang. Di atasnya terpampang langit biru dengan awan putih berarak-arak. Semua yang memandang lukisan ini akan berpendapat, inilah lukisan terbaik mengenai kedamaian.

Lukisan kedua menggambarkan pergunungan yang sama. Namun kasar dan gondol. Di atasnya terlukis langit yang gelap dan merah menandakan turunnya hujan badai. Sedangkan kilat menyambar-nyambar liar. Di sisi gunung ada air terjun deras yang berbuih-buih. Sama sekali tidak mengambarkan ketenangan dan kedamaian. Tapi, sang Raja melihat sesuatu yang menarik. Di balik air terjun itu tumbuh semak-semak kecil di atas sela-sela batu. Di dalam semak-semak itu seekor induk Pipit meletakkan sarangnya. Jadi, di tengah-tengah riuh-rendah air terjun, seekor induk Pipit sedang mengerami telurnya dengan tenang. Benar-benar damai.

Lukisan manakah yang memenanginya? Sang Raja memilih lukisan nombor dua.

"Tahukah anda mengapa?", jawab sang Raja, "Kerana kedamaian bukan bererti kita berada di tempat yang tanpa ribut dan badai, kesulitan atau pekerjaan yang sibuk. Kedamaian adalah hati yang tenang dan damai, selalu berpaut kepada Tuhan, Sang Pencipta dan Penguasa alam semesta. Meski kita berada di tengah-tengah keributan yang luar biasa. Kedamaian hati adalah kedamaian sejati, kerana Tuhan akan selalu menjaga dan bersama kita."

Dan kini, sahabatku itu kembali dengan masa lalu yang yang pernah dilalui. Sebuah cita-cita yang gagal kini menghantuinya kembali. Sakit dan pedih di dada seakan-akan ingin pergi jauh tatkala dia bertemu dengan bayang-bayang sebuah janji, dipersiakan, serta keinginan yang tidak mampu diraihnya lagi. Bukahkah setiap mimpi kita sempurna? tiada mimpi yang kita inginkan adalah buruk. semuanya yang indah dan tentu sekali sulaman mimpi yang sempurna. Dan diriku juga tidak berbeza dengan dirinya. Bayang-bayang masa lalu dan angan-angan masa datang kadangkala selalu menemaniku.

Aku telah berteriak di atas batu disebuah pantai kepada masa lalu :

"Wahai masa lalu yang telah berlalu,
tenggelamlah bersama mataharimu.
Aku tidak akan menangisi pemergianmu,
dan kau tidak akan melihatku
terkenang sedetikpun untuk
mengingatimu.
Kau telah meninggalkan kami semua,
pergi dan jangan kembali lagi."

Dan waktu yang sama aku berteriak kepada masa depan :

"Wahai masa depan,
yang masih berada dalam keghaiban,
aku tidak akan pernah bergelut dengan mimpi-mimpi
dan tidak akan pernah menjual diri untuk ilusi.
Aku tidak memburu sesuatu yang belum tentu pasti
kerana esok hari tidak bererti apa-apa,
esok hari adalah sesuatu yang belum diciptakan, dan tidak perlu dikenang."

Dan aku telah menanamkan dalam jiwa;

"Hariku adalah hari ini.
Akan aku lakukan yang terbaik pada hari ini."

Tiada ulasan: