Jumaat, Januari 27, 2006

PENGKHAYAL DAMAI

Aku merenung menara dan gedung itu, mereka berteduh di sana. Bersenda gurau sambil memungut keuntungan, jemarinya tidak lepas menggenggam segala keping duit hasil rakyat. Beratus juta nyawa bergayutan dileher mereka, tapi wangi perfume mereka menutupi bau keringat dan mulut dari perut yang lapar keringat rakyat. Kuping mereka tersumbat dengan segala negosiasi kapitalisasi dan globaliasi, deringan tiada henti. Mereka mengelar kehidupan, sementara kami hanya hidup untuk menjalani hidup. Untuk sedetik nanti.

Aku hanya senyawa yang mencari hidup. Bahagian dari jutaan korban pembangunan, hasil untuk meningkatkan angka-angka huruf pembangunan. Tercampak dari gerbang pendidikan diterlantarkan pada ladang tandus, dipagari konglomerasi. Lahar subur hanya milik mereka dengan segala kemudahan-kemudahan. Kami bukan pemalas, tapi hawa panas mengeringkan keringat. Dan tanah itu tidak lagi bersahabat. Bukankah telah didongengkan tentang negeriku yang subur makmur, kaya raya.

Aku tidak membawa masa, mereka yang telah terbeli oleh janji-janji waktu. Oleh hasutan tentang semuanya adalah takdir, ini adalah cubaan Tuhan. Mereka telah dihasut oleh janji-janji revolusi mereka menyembah berhala demokrasi. Bukankah ketika demokrasi lahir menimbulkan kematian, nenek moyang poyang kami yang kepalanya terpenggal kerana inginkan kedamaian untuk anak cicit mereka. Apa kita tidak belajar dari sejarah?

Kini tetap tiada perubahan, mereka mencuci tangan dengan keris Tameng Sari atas nama Tuah rakyatnya. Bukankah ini tindakan seorang wira. Wira pahlawan akan bertarung oleh keyakinan yang benar, bukan oleh hasutan diri. Sekali pedang keadilan terhunus, kebenaran akan tegak pada mereka yang berdiri terakhir. Tapi mereka telah tuli, buta, bisu, tiada hati nurani. Apakah mereka bukan manusia lagi? Dan aku berdiri di sini, menantang untuk itu. Suaraku mungkin tidak akan terdengar, tapi keyakinanku akan menjadi gunung suatu waktu nanti. Sebuah poster kecil bertuliskan:

"MAMPUSLAH SETAN YANG MENGHIRUP DARAH RAKYAT!!!!

Aku meneguk racun itu, perlahan0lahan terasa pahit. Panas menjalar tubuhku, menggelepar. Aku dibawa terbang, terangkat dari jasadku. Jauh kebawah, keduniawianku gelap diselubungi oleh pemburu berita yang menemaniku selama 3 hari sebelumnya. Tangan-tangan merengkuhku, membawa ketepian. Mereka tersenyum, roh-roh itu. Dan yang berwajah bercahaya menyambutku.

"Selamat datang anakku. Damai sejahtera dibumi dan di syurga."

Aku ingin protes dalam kalimat terakhir itu, tetapi tidak manis untuk sebuah perawalan pertemuan.

"Aku ingin bertemu Tuhan." kataku tegas, seakan tiada waktu lagi.

"Bukankah kasihNya melingkupi kita semua disini, di syurga. Berbahagialah orang percaya tetapi tidak melihat." Dia seperti cuba mendiagnosiku.

"Aku hanya ingin memuaskan Nietzsche, tentang pendapatnya bahawa Tuhan sudah mati," aku cuba mengatakannya.

"Jadi Tuhan sangat ingin berjumpa dengannya, agar ia tahu bahawa Tuhan itu hidup"

"Ajak aku menuju taman di Syurga bersama keajaiban hidup disyurga"

Dan kami berpindah ke sebuah waktu yang berjalan, perlahan dan indah. Kedamaiaan yang mengalir menghanguskan segala gelisah dan pada cahaya yang berpendaran pada sejuta garis-garis pengharapan yang menembus segala fikiran dan hati. Kami berhenti diatas sebuah taman. Disebelah timur Syurga. Ada suatu sungai mengalir dari langit membasahi taman. Berbagai pohon tumbuh indah. Sesubur negeriku. Haiwan hidup damai tiada kebuasan. Apakah tidak ada binatang pemakan daging ketika aku melihat sebuah pohon ditengah taman. Mungkin itu pohon yang memikat Hawa. Dimanakah kau ular? Aku mencari dengan sudut mata.

"Apa yang ingin kau tanyakan anakku?" ia menatapku lembut.

"Aku ingin bertanya tentang penciptaan manusia. Tuhan salah memilih tanah yang menjadi bahan pembentuk manusia. Kini manusia tidak bezanya dengan setan. Semakin berkuasa semakin biadab. Semakin bersenjata semakin buas. Mungkinkah tanah itu telah tercemar sebelumnya oleh kotoran setan atau binatang buas lainnya?"

Dia tersenyum,"Tidak anakku, Tuhan itu benar adanya. Allah melihat segala yang dijadikanNya dan semua itu sungguh amat baik"

"Tapi mengapa Hawa begitu liar dihasut oleh ular. Bukankah tidak ada teori-teori kehidupan yang telah menyesatkannya."

"Ular adalah haiwan yang paling cerdik dari segala binatang darat dan setan berada padanya. Setan memberinya janji untuk menjadi sama dengan Allah. Bukankah Tuhan menciptakan manusia sebagai mahluk yang tertinggi. Mempunyai akal."

"Bagaimana dengan malaikat dan setan?"

"Malaikat melayani Tuhan, hidupnya selalu melakukan hal yang benar. Setan jatuh ke dalam dosa, hidupnya menghasut manusia untuk menemaninya nanti di neraka."

"Sungguh yang terjadi di negeriku, para politikus itu ingin menjadi Tuhan. Malah yang bernama kerajaan ingin menjadi raja. Mereka memaksa rakyat untuk menjadi malaikat. Mereka ingin membuat aturan agama dalam tangan sendiri, menjadi peraturan politik, undang-undang. Bukankah manusia diberi akal untuk memilih yang benar dan salah. Menjadi pengikut setan atau Tuhan. Tuhan membinasakan manusia bila terlalu kotor. Atau menghancurkan menara untuk mimpi berlebihan internationale atau globalisasi."

Dia hanya tersenyum.
"Seperti buah itu telah menjadi mimpi nyata bagi mereka. Keinginan menjadi sama dengan Allah. Dan mereka terpengaruh oleh mimpi Hawa. wanita telah menggodanya."

"Tapi Adam tidak mencegahnya, bukankah mereka menginginkan. Dan Adam mempersalahkan Hawa untuk dosanya. Hawa mempersalahkan setan. Begitulah keturunannya."

"Seperti suatu saat nanti, mereka telah lama tahu akibatnya. Mereka mengatakan suara rakyat adalah suara Tuhan, tapi mereka sendiri menjadi Tuhan bagi mereka. Sesungguhnya aku ingin menggugat kembali, tidakkah Tuhan salah mengambil tanah untuk menjadi pembentuk manusia? Mungkin tanah itu adalah kotoran setan atau singa buas."

"Tidak anakku. Setelah kejatuhan manusia ke dalam dosa, Tuhan mengutuk tanah. Manusia dengan bersusah payah akan mencari rezeki dari tanah seumur hidup, dengan berpeluh akan mencari makanan, sampai kembali ke tanah, kerana dari situlah manusia diambil, sebab engkau debu dan akan kembali menjadi debu"

"Dan kami adalah tubuh yang terkutuk. Seperti ada tanah yang subur, ada yang gersang. Tapi tanah kami subur, mengapa rezeki kami tidak subur?"

"Tuhan menghembuskan nafas hidup yang sama ke pada manusia."

"Seperti panas yang dimiliki oleh bumi, seperti dingin dimiliki bumi, hidup kami tidak damai lagi. Mungkinkah tanah-tanah itu telah dikotori oleh kesuburan, oleh minyak yang melimpah, oleh emas yang tertanam, oleh perak yang terpendam, oleh air yang mengalir. Atau oleh dendam mayat-mayat mati yang tidak berdosa dan bersalah, menjejaskan kuburannya. Atau oleh jerit darah yang terkucur deras dari perang melanda. Tanah yang subur telah dikutuk kembali. Oleh keserakahan, oleh pembangunan, oleh air liur yang menites, oleh dendam, oleh kebiadaban, oleh bayi-bayi tercekik, oleh mani-mani kaum sundal. Oleh dosa-dosa jelek masa lalu."

Dia hanya kembali tersenyum.

"Kami tidak lagi memelihara tanah kami, dan tubuh kami menjadi jahat, terkutuk kembali. Dan kembali berlipat peluh ditulahkan pada kami. Tiada lagi damai. Oleh sebab itu apa yang kami miliki, mereka menjadi serakah kerana mereka yang ada kuasa." Ya! mereka menikmati semua itu. Dan nun jauh di negeri lain, mereka menatap segala kesuburan dan kekayaan tanah dan air kami. Dengus rakusnya panas terasa.

"Anakku, Adam dan Hawa telah memakan buah itu. Engkaupun menjadi tahu mana yang baik dan jahat"

"Kembalikan aku ke tubuhku, aku akan mengatakan pada bangsaku untuk memelihara tanah agar tak terkutuk ketiga kalinya. Aku ingat sesuatu, hmm…..apa yang terjadi dengan ular setelah ia berhasil memujuk Hawa?"

"Ular telah terkutuk. Manusia akan meremukkan kepala ular, dan keturunan ular akan meremukkan tumit manusia."

"Baiklah. Kembalikan aku ke tubuhku"

Aku kembali menjadi cahaya yang terbang, melayang menghinggapi tubuhku. Meregang dan menyatu. Sedikit bergoncang. Suara-suara itu menyentuh telinga, menampar ketidaksadaran aku. Mereka masih berkerumun, menatapku penuh tanya. Mulutnya membentuk kata-kata.

"Apa yang anda dapatkan di sana?". Mereka menantikan hasil perjalananku. Seperti janjiku pada mereka untuk keinginanku melihat Tuhan.

"Mari kita remukkan kepala ular di parlimen, sebelum tumit kita diremukkan mereka. Sebelum kita tidak lagi berjalan, berdiri pada hidup kita." Aku tidak lagi melihat ular di sana. Ia telah diusir dari sana. Mungkin ada di gedung itu, dibaju mereka, di mulut mereka, di hati mereka, dimana-mana mereka berada.

Tiada ulasan: