Jumaat, Februari 03, 2006

Entah apa yang menyebabkan aku hanya berdiam diri sedangkan tiada kata yang tersalah diutarakan atau tingkah bukan pada tempatnya, tak mungkin ada kecemburuan atau bibit benci yang terkuak, dia bercerita panjang sebelum dinaskahkan, hanya diperkenalkan dia ya, teman yang berbaur menikmati indahnya kebun teh yang luas telanjang di depan mata.

Aku hanya mencuri pandang selama itu tiada yang dilarang, mencuri hatinya baru niat akhirnya aku jadi penjahat pencuri jiwanya, akan kukurung kamar-kamar hatiku yang tak berbatas kerana hukuman nabi pun tiada mampu memancung niat ku sebab kejahatan yang satu ini tidak bersaksi, alibiku tercetak pada delapan penjuru angin, geraknya tiada berbayang bersama waktu yang tersusun ingin, meminta dan berharap bersama tindik-menindik menjelma menjadi buku hidup.

Wujudmu tidak samar, jelas ada dan nyata di antara empat tubuh antara kita, memandang kabut yang malas turun menyembah pada embun-embun yang kian menua, aaaahhh.. mungkin seperti itulah harapanku agar kau hadir di sebalik kabut itu, berdiri, aku terus menghampiri tubuhmu. Izinkan aku menyeka embun yang nakal hinggap di rambut hitammu, lengkaplah sudah keindahan senyummu kelak saat jemariku mengusap titisan air yang bergulir ke pipimu.

Tetapi bayanganmu tidak kujumpai di sana, hanya tapak-tapak kecil yang lincah berlari menyusuri jalan setapak di antara kumpulan pohon-pohon teh dan tangisan langit yang melukis jejak sungguh pasti. Sungguh lincah langkahmu tinggalkan aku yang kian merapuh mengekori gerakmu, akukah yang lama menepi mampu telusuri irama hatimu sementara cinta bagiku bukan lagi manisan yang hanya mampu meninggalkan kesan atau asam di bibir saja. Bagiku cinta seperti sebuah larangan di taman surga yang dikerat oleh hawa dan adam, setelahnya kita sedar telanjang, sedar akan niat untuk berniat menjalani hukuman bersama, bukan sekadar mabuk oleh dawai-dawai petikan cinta dan jikalau nada menjadi sumbang kita akan pasrah menyerah pada jalan yang bercabang-cabang.

Lambat laun langkahmu dapat kutarikan, tarian lalu yang pernah racuni sendi-sendi lututku, terjatuh di langkah terakhir. Kini tidak kaku lagi, wangi tubuhmu terserak pada dada yang berguncang hebat, Otakku menepis semua kepasrahan, selagi hidup bukan kendi-kendi berlubang, tiada waktu tersisa.

Tiada ulasan: