Rabu, Februari 08, 2006

Bumi baru separuh memutari matahari. Kemarau hampir tiba di pengujungnya yang sempurna. Sebelum berangkat sangat yakin, di titik ini melintang sebuah tali air. Namun saat tapak sepatu menjejaknya... Yang tersisa hanyalah jejaran bebatuan, rapi seakan disusun oleh tangan-tangan seni. Seterusnya memutuskan untuk meneruskan perjalanan. Berharap tiba di sumber air berikutnya sebelum titis air di bekalan mengering. Perjalanan masih jauh. Jalan setapak berkelok dan liku, dalam remang tudung pepohonan hutan, yang naik turun. Tiada kata yang dapat diucapkan, hanya desah nafas memberat yang mengisi udara. Sesekali bunyi kicau burung, celoteh kera, dan pekikan rimba menggema dari kejauhan sana. Semuanya sibuk dengan fikirannya sendiri. Dengan lelah dan penat yang menghinggapi. Kesabaran berpacu dengan remang petang yang cepat merembang. Sebentar lagi malam akan datang. Rasa lelah dan gelisah membayangi. Kaki semakin berat melangkah. Punggung semakin merunduk menahan beban bertumpuk. Dalam ruang kepala seribu burung dan kunang-kunang berterbangan. Satu dua fikiran buruk berlompatan. Lengan hati sibuk menepis dan cuba memberi ketenangan. Tenanglah. Sabarlah. Bukankah perjalanan ini kau yang ingini sendiri. Meninggalkan tilam yang empuk, hangatnya bilik kamar tidur, bermalas-malasan, menukarnya dengan tergelincir kaki mengukur bentang bumi. Di hutan sepi. Petang tergesa menggeliat bangun memberi tempat pada malam. Di sebuah punggungan bukit kaki-kaki terhenti. Memberi sempat pada mata menatap kerlip cahaya di antara selimut kabut yang mencadari. Hamparan laut, baunya seakan tercium dari sini. Itu sebuah selat. Dan kumpulan cahaya itu, sebuah kota dengan dermaga tua. Rasa tenang seketika menjalar, mengalir ke pori-pori hati. Setidaknya-tidaknya ini tidak terpisah oleh kehidupan. Demikian hiburan perasaan. Apakah itu, cahaya yang mengerdip-kerdip dari batu-batuan yang menggantung di tubuh bukit. Air!!! Itu air!!! Begitu kecil dan tenangnya ia mengalir, hingga jatuh terjunnya pun tanpa setitik gemericik. Bunga-bunga gembira seketika bermekaran. Cahaya bahagia berkilatan dari retina yang beberapa jenak tadi sayu. Di sini saja mengembang kemah, memulihkan badan yang lungkrah. Beringsut-ingsut menjauh disebalik rimbun semak. Tanpa melepas beban lalu terduduk. Lemah. Hanya bibir yang bergerak mengeja. Satu... satu... NamaMu! Akankah buruknya sangkaku terhapus dengannya? Aku terus pasrah.

Tidak seperti hari-hari yang baru berlalu, langit tidak bersaput awan kelabu. Seperti memberi yang menganyam janji. Menegaskan garis silaturrahmi. Sudah mengabur dalam ingatan di mana lokasi itu. Pohon-pohon akasia telah meninggi. Beberapa kelompok pohon yang ada masih dilihat tumbuh berbaris di beberapa tempat. Sesuai bersama menuju tempat itu sebagai penanda lokasi. Sebuah bangunan bertudung tersusun tiga, tempat orang bersujud menilik diri. Memandangi langit-langit tinggi dengan lampu gantung diam dibawah pucuk tudung. Tiba-tiba teringat oleh gundah tanya. Di mana untuk bergantung? Bergandengan berjalan di tepian. Mengeluarkan imaginasi tentang bukit blueberry yang akrab.Apa itu? tunjuknya pada pemancing di bawah pokok pohon. Ketika serakan kelopak bunga memerah kian dekat, mulutnya memekik. Wajahnya takjub. Di pungutnya helai-helai kelopak yang lembut bak baldu. Ditatapnya tanpa berkedip. Di tengah rumput yang tinggi melebihi lututnya kakinya membelah. Tangannya cuba mengambil sebatang bunga rumput itu. Tidak berhasil. Terlalu liat untuk tenaga kecilnya. Kesudahannya ia berhenti. sibuk menggaru-garu kaki. Oh... putik bunga rumput yang tajam bak jarum menempel di denimnya. Menembus lapis kain menusuk kulit. Telapak tangannya mengibas bunga itu biar luruh. Tapi cara itu tidak cukup ampuh. Bunga-bunga rumput yang nakal. Menitip kehidupan baru dengan melekat pada pakaian. Jemari menarik satu persatu bunga itu. Memastikannya tidak lagi menganggu. Kembali berjalan melalui titian batu, bukit blueberry, mengendap senyap menghindari intaian sweeper si pencuri, menuju bawah pohon ketapang. Tempat lingkaran silaturahmi sedang digoreskan.

Dan aku disergap oleh perasaan tua, sebab teringat masa yang hampir sama. Hampir lewat sepuluh warta. Tentang semangat yang membarakan niat untuk lebih banyak berbuat lebih tepat dan manfaat. Dan masa semakin tua kerana tidak lagi berbuat sepertinya. Aku beringsut ke belakang, ke balik pokok akasia. Sibuk sendiri benahi hati, dan senantiasa selalu begini. Sibuk sendiri

Tiada ulasan: