Jumaat, Februari 03, 2006

Ternyata benar apa yang dikatakan dia, bahawa kita saling mencintai tanpa perasaan. Telah kehilangan banyak persoalan yang satu-persatu kita sama-sama lupa. Tapi jelas dan yang aku masih bersamamu dengan penuh kesedaran. Tepatnya seperti dua kaleng Bir Tiger yang tengah kandas ditenggak, dan berbaur dengan anggur yang masih tersisa, bersama tiga bungkus rokok putih yang tertelan di rongga paru-paruku.

Yang aku tahu kita tengah berjalan 3 jarak waktu, dari ribuan kilometer yang kelak pasti ditempuh. Serpihan hidup kita seakan gersang tanpa tersisa marah, penuh diselimuti kabut. Banyak ketidaktahuan, yang nampak dimataku hanya satu warna hitam.Tidak terasa baju hangat ini kian menipis, angin nakal mencubit tubuhku, menerobos dalam pori-pori membius kulit. Hangat tubuh keluar menjadi dinginnya dengan angin yang lalu. Angin itu membawa teman, kabut yang masih berpsatel putih, lama kian manja menari di antara daun-daun teh yang pasrah pada pelukan alam.

Tapi di mata itu aku jumpai kehangatan, ribuan suria yang terbang pada setiap pandangan. Adakah pemilik taman keabadian itu? Seseorang yang setia menjaga ranting-ranting tetap jatuh kebumi. Keteduhan yang menghangatkan. Bila Tuhan izinkan biarlah mata itu menjadi milikku saja.

Kabut ya tetap kabut yang masih putih, entah dari mana bertiup yang pasti lereng dan lembah juga bebukitan yang diwarnai alam. Tutupi pandangan bagi kaum pejalan yang lama merindukan teduhnya sebuah naungan, ya rumah keabadian. Peneduh yang lama aku impikan di usiaku ini, tapi aku masih was-was pada bayang-bayang di antara asap putih yang tersamar. Aku bukan kaum peragu, aku telah membangun rumah jiwa dari mimpi-mimpi. Sketsanya sungguh jelas, dinding dan atapnya tidak tergoyahkan. Kesetiaan yang ingin bernanung di dalamnya bersamaku.

Penantianku di kerusi tua di depan pendiangan api berbekas menyanyi, hanya percik-percik ranting yang terbakar dan suara angin kian mengusik di luar sana. Jendela telah terkunci rapat, tiada suara dentuman daunnya yang menghentam satu sama lain, hanya sesekali burung hantu cuba menggoda nakal. Akankah ada jejak-jejak melangkah mendekati pintu dan mengetuk? Andai ada suara yang memanggil namaku, akan ku buka baginya. Sebab rumahku tidak bernama, tentu ia telah mengenalku. Dan biarlah di depan pendiangan ini aku membiarkan kehangatan, mengisi kekosongan waktu yang bertambah tebal debu-debu di peraduan. Melanjutkan cerita mengalahkan simpul-simpul di sudut-sudut langit rumah milik laba-laba hitam.

Oh, mungkin aku meracau. Mana mungkin ada pencuri mampu tembusi badai kabut tebal itu. Langkah mereka akan tersekat-sekat terjegal akar-akar kayu yang lama ditelan zaman kelelahan. Sementara mata angin lama tertidur, berputar bersama mimpinya. Mencariku adalah kesia-siaan bila mata hatinya tidak lagi bercahaya. Dan aku bukan puan kaum penggoda yang menyalakan api unggun di padang yang luas terbuka. Aku tak mampu menjadi penari-penari bagai dewi-dewi turun ke bumi mandi di pancuran menjadi kaum pengintai cinta.

Biarlah rumah jiwaku tersembunyi, rapat menjadi teka-teki bagi kejujuran cinta. Walau penat memakan waktu sendiri, tapi aku yakin akan ada langkah yang menghampiri. Seperti di detik ketika penantianku di keping-keping keraguan, engkau berdiri di depan pintu hatiku. Melangkah pada tempat tubuhku bersandar. Engkau mengenaliku, mengucap nama dan menawarkan kehangatan yang aku rindukan. Matamu melelehkan penantian penuh bimbang.

Tiada ulasan: