Jumaat, Februari 10, 2006

CEREKA

Angin malam itu duduk tergeletak di sudut kamar. Tidak mampu berjaga. Sementara lampu redup terus setia tegak berbakti. Matanya lelah melihat. Hanya daun jendela memancing pandang, melambai-lambai di luar sana. Dan cicak terbaring, dia menelan air liur untuk pertanyaan yang tidak pernah terjawab. Ia mengusap peluh. Peluh yang tidak jujur hadir di lewat malam yang dingin. Otaknya berputar memeras anggur-anggur yang tergilas roda waktu. Menitis jatuh kepipi dan menitipnya pada hidung yang bersinar. Ia mengusap mata. Mata malasnya.

Ahh....!Sudah empat jam. Buntu, batinnya. Membakar tembakau. Menciptakan awan-awan kecil yang menggoda khayalan yang menerawang. Terbayang olehnya lelaki itu yang akan menepuk dada. Dan mulutnya yang menyala-nyala. Seperti sebuah pertunjukan sirkus keliling di kota-kota kecil. Dan badut-badut akan menciptakan bola-bola api dari mulutnya. Mereka semua terpesona. Berdiri dan memberi sejuta tepukan. Atau mungkin dia akan meninju langit. Memecah awan-awan yang menggumpal. Memberi lautan jawapan yang menitis bagi mereka yang lama melewati musim-musim yang berlalu. Jadilah dia malaikat yang ternoda yang lupa akan sayapnya setelah lama digadai pada borjuis-borjuis itu.

Celaka! Mengapa otakku terkunci rapat. Ruangan-ruang apa pula yang membius kecerdasanku terperangkap tanpa pintu. Aku telah berkeliling pada semua arah disudut kota. Telah menyapa pada semua peristiwa. Tapi apakah yang kubaca? Dia bertanya dalam tanya. Semua sudut terpapar di depan mata. Mata malas. Antara fakta dan fiksion khayalan. Bila keduanya dituliskan dalam gaya bahasa kuno, yang keduanya dituliskan tanpa huruf hidup.Bukakah fiksion menggunakan banyak fakta? Dia bermain-main dalam ruang fakta untuk merangkainya menjadi cerita. Sejarah adalah batu-batu yang kuat untuk membangun tiang cerita. Sejarah itu tempat kita bermula berjalan.

Tapi aku bukan hidup untuk penindasan. Tidak melahirkan sikap perlawanan (atau mungkin dendam) oleh akibat penindasan seperti yang dialaminya. Tapi aku ada sedikit sikap memberontak, walaupun memberontak terhadap kemampuan berfikir. Setidaknya aku cuba untuk menjadi ramuan sejarah itu dan menyajikannya dalam sebuah fiksion. Tentu tidak membosankan. Kerana di saat orang-orang perlu makan dan sibuk dengan pekerjaan, aku sudah muak dengan raja-raja manusia yang menyisakan feudalisme dalam birokrasi. Artifak-artifak bukan lagi bukti warisan kehebatan budaya, kerana keturunanku hanyalah budaya yang pasrah ditindas dan diperbodohkan, sudah mengakar di akar rumput.

Aku pasti bertemu dengan sejarah-sejarah baru. Sejarah kolonialis, feudalis, militeristis, dan faham sejarah sudah dilenggingkan dan telanjangkan. Bogel tanpa malu-malu ditatap dan mereka pasti menatapnya tidak jemu. Aku akan membuat mereka sedar sejarah dan bersatu menghalaunya. Hanya dalam frosa sejarah akan dicernakan. Nadiku terpacu kencang dengan sejuta kata yang ingin tumpah di jemari. Tapi jemari diam. Aku ingin menulis. Menjadi pengarang. Oh..!!aku kini sudah berdamai. Aliran darah dan oksigen berjalan tenang, bergerak maju. Jari-jemari menjadi panjang kearah otak. Syaraf-syaraf sedang saling memangut. Sebuah emosi hanya mampu mendorong untuk menulis. Menjiwai alam fikir orang lain. Menjiwai suara seseorang. Jeritan manusia kecil orang ramai. Harapan yang masih tersisa dari nafas tersenggal-senggal sebelum pintu kubur ditutup. Mengalirlah banjir yang menggenangi rumah-rumah di dataran rendah di sekeliling perumahan megah. Menerjang kaki-kaki alas tidur di pinggir kali. Menyapu nafas manusia-manusia yang menjajakan peluh di tepi-tepi jalan.

Dia mengamini.Sebuah cerita cereka serupa dengan dusta. Dimulakan suatu dengan nyata. Mengubah menjadi alur yang diatur muara untuk tujuan tertentu. Dan esok, di atas podium itu, mereka akan membuai kata kepada jelata dengan kata-kata indah. Mereka akan menang kali ini. Wakil dari kaum pendongeng dan pendusta.

Tiada ulasan: