Khamis, April 20, 2006


2 DIMENSI

-IV-



"hidup hanya wayang yang berjalan
lakonan yang meregang untuk satu malam
cerita yang dikisahkan oleh si bodoh
penuh riuh rendah serta resah, yang tiada ertinya" [Shakespeare]

Tiga tahun yang lalu, dijalan itu. Sinar remang lampu jalan menerpa wajah pucat J sebagai gadis zaman moden mungkin terlalu kuno. Tidak ada polesan bedak dan tampalan lipstik. Hanya alis tebal, hidung merah dan kulit kuning gading merekah di wajahnya. Jam sebelas malam, biasanya dia melalui hujung jalan ini. Dengan langkah pantas untuk cepat sampai kea rah tujuannya. Lelah dan peluh terasa setelah seharian bertugas sebagai gadis penjual buku-buku. Tidak ada penyesalan dalam perjalanan hidupnya setiap hari. Hanya ada harap menunggu akhir bulan untuk menerima wang gaji jasa dari titik keringatnya. Jasa melayani para pembeli dan pembaca buku dari took bukunya. Malam ini nafas J mendengus, tanda paru-paru telah lelah hawa kepenatan.

J ingin menawan gunung, tempat neneknya bersemadi, dia ingin berjumpa dengan tok wannya. Ada pesanan yang ingin disampaikan kepadanya. Gunungan yang merangkumi didalamnya pohon beringin yang menjadi simbol yang sering diulang-ulang kejadian didalam kanvas ditangan pencinta seni sepertinya. Persepsi gunung sebagai simbol alam semesta atau kosmos amat sebati dalam kelompok budaya tradisional seperti keturunan nenek moyangnya sebagai pencetak dan pelukis batik. Tuhan yang menciptakan, alam yang menjalankan. Sayang manusia merosakkannya. Entah apakah masih ada yang tersisa tegak menghadap langit seperti batang korek api bila dilihat dari kejauhan. Ataukah hanya tunggul-tunggul raksasanya saja yang diam nestapa. Kisah oleh tok wannya yang penunggu bersama pengiringnya yang menjelma harimau. Rasanya kini sekadar menjadi cerita penghias buku terbitan Balai Pustaka. Adakah menjadi legenda dan dongengan belaka?

Dia kembali ke tanah perkampunganya di pantai timur. Matahari baru melepas pagi, dia hendak mendaki gunung menjemput siang yang melambai dari disebalik lazuardi. Langkah-langkah tanpa tergesa-gesa, menepuk-tepuk tanah merah yang membasah, sisa dekapan peluh dinihari. Sampai di atas pergunungan yang meninggi, terbentang samudera yang luas terbentang. Dipersesisiran kelihatan wau bulan yang terbang melayang bebas di langit jingga. Itu adalah lambing, seperti kehilangan sebahagian besar maksud wau itu terbang, dalam dunia imaginasi dan puitis, gambaran langit dan bumi merupakan bahasa berkesan dalam hidup untuk berkominikasi dengan alamraya. Di langit itu bertaburan wau angan-angannya yang pelbagai warna. Di Cape Canaveral pula, satu penerbangan canggih ke angkasa lepas sedang dilancarkan. Tetapi secara simboliknya, ruang angkasa sebenar angkasawan yang diterjah wau bulan perkampungannya adalah sama. Pendaratan manusia dibulan masih meninggalkan jejak dalam imaginasi simbolik.

Suara retak ranting terinjak dan geseran rumput yang tersapu dihujung kakinya berselang-seli nyanyian burung dan serangga. J hampir terlupa dia ingin menawan gunung bukan bulan diangkasaraya. Sesekali seekor belalang terkejut melompat menghindar dari pijakan kasutnya yang berderap-derap. Kaki-kakian kotanya yang terlupa santun pada keheningan. Daun-daunan saling bertepuk manakala angin berhembus dari kerendahan lembah. Seperti gesekan melodi yang terdengar unik di telinga. Muzik asyik yang disambut oleh kerik suara serangga, anak burung dan siulan burung jantan mengundang betina datang. Adakah orkestra yang lebih indah dari gubahan alam seperti ini!

Dari kehidupan yang terikat dengan permukaan bumi. Simbol burung bersepadanan dengan pengertian gunung, tepat bersemayam meakhluk bersayap. Makhluk bersayap yang dengan mudah melepaskan dari cengkaman manusia membawa pengertian pengalaman, mencapai sesuatu yang tak tercapai, tidak boleh diterokai dan terpencil.

Pohon rendang bergantungan dengan buah ranum dan ketinggian bertinagkat-tingakat perlbagai hawa dilihat sebagai perlambangan peringkat-peringakt rumah ibadat/gunung dimana sang pengembara sepertinya bersuluh mencari jalan ke pengetahuan hakiki. Memandankan kemuncaknya dilihat sebagai tempat sakti persinggah dewa-dewa dan semangat, gunung ini telah menjadikan sebahgaian dari simbol ilmu tanpa batas dan menifetasi ketuhanan.

Ketika dua pasang kakinya mendekati tempat untuk dia meditasi, sayup terdengar bisik halus. Angin dingin yang J rasakan sejak tadi menerbangkan bayangnya. Memutar bola matanya kiri dan kanan, mengusik nadinya. Dua saat, bayangnya membentuk. Bisik sayupnya jelas. Saat ini tak ada putaran waktu. J hanya lihat langkah kakinya dan Dia tak berhasil menapak lagi. Bayang ini mulai menarik jiwa. Dingin yang rasa waktu bayang ini menembus jiwa.Dia menjilat merayu dan mangajak jiwa bersama. Bisiknya menjadi deretan kata Suara kasutnyaku menepuk jiwa. Sedarkan waktu yang sudah menggelinding lagi. Kali ini, dia hanya rasakan kehadiran sesuatu di balik punggungnya.

Begitu akal menelan bisiknya, pengap rasa dadanya, tegang yang dirasai menjalar sampai kepala. Hidungnya seperti mencium harum dan kulitnya merasakan rasa yang tak pernah terbayang. Sesaat rasa itu hilang, membimbing tangannya menarik Dia merasa bayangan ini ikut menarik. Wajahnya tok wannya terbayang menyingkap senyum pahit yang lalu sejenak terlihat bangga. Hembusan nafasnya wangi bau kemenyan para dukun. Gerak tangannya melambai mengepal ke udara.

Wanita tua berambut putih itu mangangkat kaki kanannya dengan lutut sejajar berpusar, sedangkan sepasang tangannya di depan dada dengan telapak terbuka lebar. Wanita tua itu menahan napas sejenak, mulutnya berkomat-kamit. Secara tiba-tiba kaki kanan yang terangkat itu melompat ke depan. Sepasang tangannya mendorong dengan pengerahan tenaga kuat. Tenaga dorongan mengarah ke depan, ke arah sebongkah batu yang jaraknya ada sekitar lima di depan J.

"Kita manusia dan dalam pengangan kita tidak inginkan kekerasan tapi kekuatan. Ilmu tuhan adalah kekuatan. Dan itu perlu untuk kewibawaan agama kita," tutur lagi tok wan berambut putih didepannya. Wanita itu menghela nafas. Kemudian dia pun duduk di atas batu yang sudah ditempati gadis yang terkejut itu. Sebelum meneruskan percakapan, wanita tua itu mengenakan kembali baju kurung warna hitamnya. Ikat kepalanya yang juga berwarna hitam segera dikenakannya, nampak kontra dengan warna rambut putihnya yang mengerbang ditiup angin tengah hari. Mereka berdua duduk di bawah pohon yang rendang yang berdiri terpencil di kaki bukit itu. Nun jauh ke sebelah utara nampak dataran rendah pantai utara yang langsung berbatasan dengan warna laut biru pesisir kampungnya.

J, gadis kota itu sebenarnya sudah diperintah oleh tuannya untuk berlatih. Tapi wanita itu hanya lakukannya dengan separuh sahaja. Sungguh berat melatih matanya agar dapat melihat di dalam gelap. Selama tiga bulan penuh dia perlu berada di dalam ruangan yang hanya menerima sedikit cahaya. Semakin hari, cahaya yang masuk ke dalam ruangan itu semakin berkurang sampai pada suatu saat ruangan itu gelap gelita sekali. Namun demikian, kemampuan mata tetap seperti melihat ruangan ketika masih mendapatkan cahaya. Gadis itu tidak kuat melebarkan pupil matanya. Urat-urat di sekitar bola mata terasa menegang dan seperti mahu putus dan kepalanya berdenyut disertai perasaan mual di hulu hatinya. Rasanya dia ingin muntah.

"Mata saya seperti tidak sanggup memenuhi keinginan ini tok wan," tutur J pada malam. Dia keluar ruangan dengan sepasang mata yang bengkak dan berwarna merah, bahkan dari sudut-sudut matanya keluar titisan darah.

Mendengar keluhan ini tok wan berambut putih itu hanya ketawa masam. "Orang yang tidak tahu melangkah tidak akan sampai ke tempat tujuan. Dan alangkaha sedihnya bilamana suatu saat dia akan sedar bahawa selama ini dia hanya tinggal di tempat yang sama juga. Dia tetap mentah pengalaman dan pengetahuan ..." kata wanita tua ini tidak pernah memaksakan kehendak, kecuali memberikan gambaran seperti itu.

"Gunung juga merupakan tempat mistik di mana kehadiran Yang Maha Esa dapat dirasakan dan wahyukan, di mana sepanjang pengalaman rohani manusia merupakan lokasi sesuatu yang duniawi menemui yang bersifat rohani dan syurgawi. Dalam konsenstrasinya dan pandangan pijar mata di kota dan perkampungan rekabentuk dan pembinaan rumah ibadat, kemuncak tertinggi senibina dapat dibayangkan serti kemuncak tertinggi gunung kosmik. Kubah, secara universal baginya merupakan kolong langit. Dari gunung Olympus ke gunung Atlas, ke gunung Meru hinggalah ke gua tempat turunnya Wahyu ke Nabi Muhammad di Gunung Hira, terus ke gunung Sinai Nabi Musa."

Itulah yang J ketahui gunung-gunung yang berkait rapat dengan pertemuan manusia dengan dalam luat jangkauan, baik dalam bentuk mitos mahupun yang membawa katarsis.

"Kau mencari ilmu hakiki, cucuku, yang membawa perubahan, dan simbolisma perubahan rasa jasmani dan rohani gunung sarat dalam tradisi rohaniah manusia. Gunung-ganangan merupakan tempat paranormal boleh menjadi boleh terjadi dan mampu mengisi kehausan manusia terhadap tentang dunia lain. Diseluruh Timut Tengah dizaman purba, gunung-ganang sebagai lokasi berkuasa."

"Dari Musa mengetuai kaumnya keluar dari perkhemahan untuk menemui tuhan dan mereka mengambil tempat dikaku gunung. Dan Gunung Sinai dilitupi asap, kerana Yahweh turun bersemayam di atasnya dalam api, dan aspnya berkepul-kepul seperti asa relau, dan seluruh gunung bergegar dengan dasyat." (Kitab Exodus)

Gunung-gunungan merupakan pasak didala tradisi Islam mengenali gunung Qaf, sebuah tempat persemayam zambrud yang didiami makhluk dimensi lain, gunung cahaya yang dipisahkan dari kegelapan yang nyata.

DIA telah larut bersama gunung imaginasinya.

Tiada ulasan: